Sebagian
orang berpendapat asal nama Kabupaten Pacitan berasal dari kata Pacitan
yang berarti camilan, sedap-sedapan, tambul, yaitu makanan kecil yang
tidak sampai mengenyangkan. Hal ini disebabkan daerah Pacitan merupakan
daerah minus, sehingga untuk memenuhi kebutuhan pangan warganya tidak
sampai mengenyangkan; tidak cukup (pada masa pemerintahan Sultan Agung
(1613-1645) nama tersebut telah muncul dalam babat Momana).
Adapula yang berpendapat bahwa nama Pacitan berasal
dari “ Pace ” mengkudu ( bentis : Jaka ) yang memberi kekuatan.
Pendapat ini berasal dari legenda yang bersumber pada Perang Mengkubumen
atau Perang Palihan Nagari (1746 – 1755) yakni tatkala Pangeran
Mangkubumi dalam peperangannya itu sampai di daerah Pacitan.
Dalam suatu pertempuran ia kalah terpaksa melarikan diri ke dalam hutan
dengan tubuh lemah lesu. Berkat pertolongan abdinya bernama Setraketipa
yang memberikan buah pace masak kemudian menjadikan kekuatan Mangkubumi
pulih kembali. Akan tetapi nampaknya nama Pacitan yang menggambarkan kondisi daerah PacitanKota pacitan adalah sebuah kota yang berada di pulau jawa. Pacitan adalah sebuah kota yang berada di karesidenan madiun pada abad ke XV di pacitan telah berkembang agama hindu dan Budha yang berkiblat kepada Kerajaaan Majapahit yang dipimpin oleh ki ageng buwono keling yang bertempat tinggal di Jati Kecamatan Kebonagung (Drs. Ronggosaputro;1980)
1750-1757 : R.T.Notopoero (Raden Ngabehi Tumenggung Notoprojo).
1757- : R.T.Soerjonegoro I
1757-1812 : R.T.Setrowidjojo I (Setroketipo)
1812- : R.T.Setrowidjojo II ((3 bulan) R.M Lantjoer)
1812-1826 : M.T.Djogokarjo I (Jayaniman)
1826- : M.T.Djogonegoro (Mas Sumadiwiryo)
1826-1850 : M.T.Djogokarjo II (Mas Karyodipuro)
1850-1864 : R.T. Djogokarjo III (Mas Purbohadikaryo)
1866-1879 : R.Adipati Martohadinegoro (Raden Mas Cokrodipuro)
1879-1906 : R.T Martohadiwinoto (Mas Ngabehi Martohadiwinata)
1906-1933 : R.Adipati Harjo Tjokronegoro I (R.T. Cokrohadijoyo)
1933-1937 : kosong (pemerintahan sehari-hari oleh Patih Raden Prawirohadiwiryo)
1937-1942 : R.T.Soerjo Hadijokro (bupati terakhir masa pemerintahan Belanda)
1943- : Soekardiman
1944-1945 : MR.Soesanto Tirtoprodjo
1945-1946 : R.Soewondo
1946-1948 : Hoetomo
1948-1950 : Soebekti Poesponoto
1950-1956 : R.Anggris Joedoediprodjo
1956-1960 : R. Soekijoen Sastro Hadisewojo(bupati)
1957-1958 : R.Broto Miseno (Kepala Daerah Swantara II)
1958-1960 : Ali Moertadlo (Kepala Daerah)
1960-1964 : R.Katamsi Pringgodigdo
1964-1969 : Tedjosumarta
1969-1980 : R.Moch Koesnan
1980-1985 : Imam Hanafi
1985-1990 : H.Mochtar Abdul Kadir
1990-1995 : H. Soedjito
1995-2000 : Sutjipto. Hs
2000-2005 : H. Soetrisno
2005- ……. : H. Sujono.
2. 2-15 % meliputi ± 6,60 % dari luas wilayah baik untuk pertanian dan memperhatikan usaha pengawetan tanah dan air.
3. 15-40 % meliputi ± 25,87 dari luas wilayah sebaiknya untuk usaha tanaman tahunan.
4. 40 % keatas meliputi ± 63,17 % dari luas wilayah merupakan daerah yang harus difungsikan sebagai daerah penyangga tanah dan air serta menjaga keseimbangan ekosistem di Kabupaten Pacitan.
- sebelah Selatan : Samudera Indonesia
- sebelah Barat : Kabupaten Wonogiri ( Jawa Tengah )
- sebelah Utara : Kabupaten Ponorogo
Sedangkan
islam dipacitan dibawa oleh Ki Ageng Petung (Kyai Siti Geseng) bersama
Syeh Maulana Magribi dan Kyai Ampok Boyo (Kyai Ageng Posong) dibantu
Kyai Menaksopal dari Trenggalek.
Beberapa
prasasti juga ditemukan prasasti jawa kuno yang memperkuat asumsi bahwa
Ki Ageng Buwono Keling merupakan penguasa di wengker kidul.
PRASASTI JAWA KUNO
JA PURA PURAKSARA ERESTHA
BHUWANA KELING ABHIYANA
JUWANA SIDDHIM SAMAGANAYA
BHIJNA TABHA MINIGVAZAH
RATNA KARA PRAMANANTU
Artinya
: dahulu ada seorang pendekar ternama bernama buwono keling yang telah
mencapai kesempurnaan, dalam ilmu kebathinan dan kekebalan. Seorang guru
diantara orang bijaksana dan beliau inilah yang menjadi perintis dan
pemakrarsa daerah sekitarnya.
Negeri
buwana Keling terletak di (Jati Kec. Kebonagung) ± 7 km dari ibukota
Pacitan sekarang yang disebut daerah wengker kidul atau daerah pesisir
selatan.
Dan
ketika dalam perang gerilya 1747-1749 (Perang Palihan Nagari (1746-1755)
)melawan VOC Belanda, Pangeran Mangkubumi mengalami kekalahan, beliau
disertai 12 orang pengikutnya terus mundur keselatan sambil mencari
dukungan orang sakti untuk membantu perjuangan. Tanggal 25 Desember 1749
rombongan tersebut lemah lunglai, dan atas bantuan setroketipo beliau
diberi sebuah minuman yaitu buah pace yang telah direndam dengan legen
buah kelapa, dan seketika itu juga kekuatan Pangeran Mangkubumi pulih
kembali. Daerah itu diingat dengan pace sapengetan dan dalam pembicaraan
keseharian sering disingkat dengan pace-tan lalu menjadilah sebuah nama
kabupaten Pacitan (Drs. Ronggosaputro;1980)
Setelah
Pangeran Mangkubumi menjadi Hamenku Buwono I beliau memenuhi janjinya
kepada para pengikutnya yang ketika itu ikut bergerilya. Setroketipo
diangkat menjadi Bupati Pacitan ke-2 setelah sebelumnya dijabat oleh
Raden Ngabehi Tumenggung Notoprojo . Raden Ngabehi Tumenggung Notoprojo
sebelumnya diangkat juga oleh Pangeran Mangkubumi pada tanggal 17
Januari 1750 setelah beliau banyak membantu Pangeran Mangkubumi ketika
bergerilya didaerah pacitan. Ketika itu Ngabehi Suromarto menjabat
demang Nanggungan dan ketika diangkat bupati bergelar Raden Ngabehi
Tumenggung Notoprojo.
Nama-nama orang yang pernah menjabat Bupati Pacitan :
1745-1750 : R.T.Notopoero (Raden Ngabehi Tumenggung Notoprojo).
Letak geografis..
Kabupaten
Pacitan terletak di Pantai Selatan Pulau Jawa dan berbatasan dengan
Propinsi Jawa Tengah dan daerah Istimewa Yogyakarta merupakan pintu
gerbang bagian barat dari Jawa Timur dengan kondisi fisik pegunungan
kapur selatan yang membujur dari gunung kidul ke Kabupaten Trenggalek
menghadap ke Samudera Indonesia.
Kabupaten
Pacitan mempunyai luas wilayah 1.389,87 Km2 atau 138.987,16 Ha yang
kondisi alamnya sebagian besar terdiri dari bukit-bukit yang
mengelilingi kabupaten. Sedangkan wilayah kota Pacitan yang merupakan
inti atau pusat pemerintahan berupa dataran rendah. Selebihnya berupa
daerah pantai yang memanjang dari sebelah barat sampai timur di bagian
selatan.
Pacitan
adalah kecamatan yang menjadi ibukota Kabupaten Pacitan, provinsi Jawa
Timur, Indonesia. Kota Pacitan adalah denyut nadi pemerintahan dan
perekonomian kabupaten pacitan secara keseluruhan. Lansekap kota Pacitan
terletak di lembah, di tepi Teluk Pacitan dan dialiri sungai Grindulu
yang membentang dari wilayah selatan menuju pantai Teleng Ria.
Kabupaten
Pacitan merupakan salah satu dari 38 Kabupaten di Propinsi Jawa Timur
yang terletak di bagian Selatan barat daya. Kabupaten Pacitan terletak
di antara 1100 55′ – 1110 25′ Bujur timur dan 70 55′ – 80 17′ Lintang
Selatan.
Dari aspek topografi menunjukkan bentang daratannya bervariasi dengan kemiringan sebagai berikut:
1. 0-2 % meliputi ± 4,36 dari luas wilayah merupakan tepi pantai.
Batas-batas Administrasi :
- sebelah Timur : Kabupaten Trenggalek
Bila
ditinjau dari struktur dan jenis tanah terdiri dari Assosiasi Litosol
Mediteran Merah, Aluvial kelabu endapan liat, Litosol campuran Tuf
dengan Vulkan serta komplek Litosol Kemerahan yang ternyata di dalamnya
banyak mengandung potensi bahan galian mineral. Pacitan disamping
merupakan daerah pegunungan yang terletak pada ujung timur Pegunungan
Seribu, juga berada pada bagian selatan Pulau Jawa dengan rentangan
sekitar 80 km dan lebar 25 km. Tanah Pegunungan Seribu memiliki ciri
khas yang tanahnya didominasi oleh endapan gamping bercampur koral dari
kala Milosen (dimulai sekitar 21.000.000 – 10.000.000 tahun silam).
Endapan itu kemudian mengalami pengangkatan pada kala Holosen, yaitu
lapisan geologi yang paling muda dan paling singkat (sekitar 500.000
tahun silam – sekarang). Gejala-gejala kehidupan manusia muncul di
permukaan bumi pada kala Plestosen, yaitu sekitar 1.000.000 tahun
Sebelum Masehi.
Endapan-endapan
itu kemudian tererosi oleh sungai maupun perembesan – perembesan air
hingga membentuk suatu pemandangan KARST yang meliputi ribuan bukit
kecil. Ciri-ciri pegunungan karst ialah berupa bukit-bukit berbentuk
kerucut atau setengah bulatan.
Bersamaan
dengan kala geologis tersebut, yakni pada zaman kwarter awal telah
muncul di muka bumi ini jenis manusia pertama : Homo Sapiens, yang
karena kelebihannya dalam menggunakan otak atau akal, secara
berangsur-angsur kemudian menguasai alam sebagaimana tampak dari
tahap-tahap perkembangan sosial dan kebudayaan yaitu dari hidup
mengembara (nomaden) sebagai pengumpul makanan, menjadi setengah
pengembara/menetap dengan kehidupan berburu, kemudian menetap dengan
kehidupan penghasil makanan. Adapun tingkat kebudayaannya yaitu dari
zaman batu tua (Palaeolithicum), zaman batu madia (Messolithicum), dan
zaman batu muda (Neolithicum).
Obyek Pariwisata Kota Pacitan
Gua Gong
Goa
Gong. Merupakan Goa yang mendapat predikat Goa terindah se – Asia
Tenggara. Terletak di desa Bomo, Kecamatan Punung ini menawarkan sejuta
pesona keindahan stalaktit dan stalakmitnya. Kalau mau melihat salah
satu lokasi keajaiban bawah tanah, selayaknya kita melawat ke daerah
Pacitan. Sebab di antara bukit-bukit gersangnya, ternyata tersimpan
gua-gua eksotisme bawah tanah batuan gamping. Yang hanya akan
meninggalkan jejak keindahan bagi mata yang pernah memandangnya. Deretan
bukit batuan gamping menghiasi sepanjang kiri-kanan jalan. Jalan yang
berkelok indah di sisi pinggir bukit membuat lintasan paralel menyusur
di antara kehijauan pohon jati. Angin segar menerpa, di atas aspal baru.
Mengantarkan kaki menuju parkiran wisata gua Gong, di Kabupaten Punung,
Pacitan Jawa Timur.
Di
sepanjang perjalanan menuju mulut gua, deretan kios pedagang makanan
masih tertutup rapat. Mungkin karena saya datang bukan saat akhir
minggu, jadi deretan kios ini terlihat menutup diri saja. Lagipula,
memang tak banyak pengunjung yang datang saat itu. Hanya terlihat
sekelompok pria dewasa, yang sepertinya hanya ingin melewati rasa
penasarannya saja untuk melihat isi perut bumi di daerah desa Bomo ini.
Memasuki
lorong pertama di gua ini, sudah terasa keindahan mulai memijar.
Deretan straw (ornamen berbentuk seperti sedotan) berebut memenuhi
langit-langit gua. Sebuah ungkapan selamat datang yang mahaindah bagi
yang mengerti. Karena deretan straw tersebut bisa berarti sinyal
pemberitahuan, mengenai lebatnya ornamen lain di dalamnya.
Benar
saja, setelah melewati lorong straw, langsung mata ini disergap oleh
puluhan bahkan ratusan ornamen gua yang berbeda tiap bentuknya. Teramat
banyak saya kira, lebih banyak dari sekumpulan ornamen gua yang pernah
saya lihat di gua-gua lainnya di tanah Jawa ini. Semua penuh memadati
lorong menurun gua, menghiasi tiap meter sisi tangga. Menjadi hiasan
yang tak terukur nilainya, karena tiap ornamen bisa jadi berumur ratusan
tahun lamanya.
Saking
banyaknya ornamen yang ada di dalam gua tersebut, sampai sulit rasanya
menyebutkan satu per satu di sini. Yang paling saya ingat mungkin
sekumpulan gourdyn raksasa, yang dipenuhi bintik mutiara di dalamnya.
Titik-titik kecil tersebut seperti ribuan kunang-kunang saja layaknya.
Suasana gua yang temaram makin menambah eksotis ribuan titik mutiara
itu. Memenuhi tiap jengkal mata memandang, dan bila memejamkan mata,
rasanya masih tertinggal ribuan titik mutiara tersebut memenuhi benak
kepala.
Perjalanan
masih terus memasuki lorong-lorong. Menembus di antara stalagmit dan
stalagtit. Membentuk tiang-tiang tinggi penyangga lorong, mengukuhkan
keberadaan mereka di sana. Diselang-selingi dengan tirai tipis batuan,
menimbulkan kekaguman saat mencoba mengetuknya. Terdengar suara
berdengung, yang menggema di seantero lorong. Rupanya inilah sebab
mengapa gua ini disebut Gong. Karena tiap kita memukul bagian ornamen di
dalamnya, akan terdengar suara berdegung, mirip suara yang dihasilkan
gong gamelan kesenian khas Jawa.
Hingga
akhirnya saya keluar dari lorong-lorong berhawa panas tersebut, masih
terasa sentuhan pada mata dan kuping ini. Menembus liang pemikiran dan
berbayang terus, bahkan sampai es degan (kelapa) melewati kerongkongan.
Baru tersadar bahwa keindahan gua tersebut benar-benar sebuah anugerah
dari kuasa, yang diberikan untuk mempercantik kawasan keras gamping
tersebut.
Nah itu Sejarah Dari kota kelahiran ku, Pacitan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar